Posted by : Unknown
Jumat, 06 Maret 2015
Ini sebenarnya hasil latihan di kelas menulis beberapa waktu lalu. Berhubung disuruh bikin tema Thailand, jadinya ya begini, deh. Check this out ....
Malee
terlihat sibuk memilih beberapa aksesoris di Pratunam Market, pusat wisata
Bangkok. Meski jalanan tampak padat, tak membuat Malee menyurutkan niatnya. Ratusan
toko dan lapak yang berjejer di sana membuat gadis dengan rambut yang dikuncir
tersebut bingung memilih barang yang akan dipilihnya.
“Hmm,
gelang ini bagus sekali,” gumam Malee mengulurkan tangan untuk mengambil gelang
tali yang dilihatnya. Namun, saat tangannya akan meraih gelang tersebut,
seseorang yang berdiri di sampingnya terlebih dulu mengambilnya.
Gadis
berkulit putih itu menoleh. Matanya langsung terbelalak begitu melihat sosok
tersebut. “Kau …” katanya, dengan mulut menganga.
Pemuda
yang ternyata teman Malee di SMA itu hanya menoleh sepintas. Ia terlihat acuh
tak acuh melihat gadis itu.
“Kembalikan! Itu milkku!” seru
Malee setengah berteriak.
“Milikmu?
Kau pikir kau yang menjual gelang ini?” katanya sewot, “lebih baik kaucari saja
motif lain. Gelang ini sudah jadi milikku.” Pemuda bernama Phanumas itu
keukeuh. Ia bersikeras memiliki gelang itu.
Malee
menyipitkan sebelah matanya. “Kau … tidak mengenalku?” tanya Malee ketika
melihat ekspresi wajah Phan yang seolah tidak mengenalnya. Sebenarnya ia paham
bagaimana sikap Phan dulu di sekolah. Tapi, Malee hanya ingin memastikan saja
akan hal itu.
Phan
memiringkan kepalanya. Mengamati sosok yang masih menatapnya heran. “Memangnya
kau siapa?” Perkataan Phan membuat gadis itu mendengus kesal. Bagaimana mungkin
pemuda itu melupakannya begitu saja. Padahal kelulusan sekolah baru berakhir
dua bulan yang lalu.
“Kau …
kenapa kau selalu bersikap menyebalkan padaku?!” teriak Malee seakan frustasi.
Phan hanya mengangkat bahu pendek.
Seakan
tidak merespon sikap Malee padanya, pemuda itu membuang pandang pada penjual
gelang yang ada di depannya. “Berapa harganya?” tanyanya sambil mengangkat
gelang yang dibawanya.
“45 baht,”
kata pedagang tersebut.
Dahi Phan
berkerut samar. “Phaeng maak,”[1]
gerutunya kemudian.
“Kalau kau
tidak sanggup membayar, berikan gelang itu padaku. Biar aku yang membelinya.”
Malee berujar dengan nada ketus.
“Kau pikir
aku tidak sanggup membayarnya, heh?!” sulut Phan merasa tersinggung. Malee
langsung mencelos. Pemuda itu selalu saja membuatnya marah. Ia tidak tahu
kenapa, tapi ia merasa kalau Phan selalu berusaha untuk menghindarinya. Dan
sekarang, setelah mereka bertemu kembali, Phan bersikap seolah-olah ia tidak
mengenal gadis itu.
Di sisi
lain, pedagang yang menjual gelang tersebut heran melihat perdebatan dua orang
tersebut.
“Kalau
kalian mau ribut jangan di sini. Masih banyak orang yang ingin mampir ke
lapakku,” cetusnya, membuat perdebatan di antara dua orang itu berhenti.
“Ini,”
Phan menyerahkan beberapa lembar uang pada pedagang itu. “Khob khun khab.”[2] Setelahnya
ia langsung pergi tanpa menoleh pada Malee.
***
“Apa?
Jadi, kau bertemu dengannya lagi?” Salah seorang teman Phan, Shom, kaget ketika
pemuda itu menceritakan pertemuannya dengan Malee. Sebenarnya Phan masih ingat
dengan Malee. Hanya saja, ia enggan untuk mengakui hal itu.
“Aku
merasa dunia ini sangat sempit. Bagaimana bisa aku bertemu dengan gadis itu
lagi?” Phan menangkupkan kedua tangannya pada wajah. Setelahnya ia menyandarkan
tubuhnya pada sofa.
“Sepertinya
kalian memang sudah ditakdirkan untuk bersama,” celetuk Shom mencondongkan
wajahnya pada Phan. Pemuda itu menoleh, ia langsung memelototi Shom yang masih
terkekeh.
***
Malee
membuka buku kenangan masa SMA nya dulu. Setelah pertemuannya yang tak
disengaja dengan Phan, gadis itu tergerak untuk melihat-lihat kembali
teman-teman di sekolah dulu. Beberapa saat, lembaran yang dibuka telah sampai
pada halaman kesekian. Foto pemuda dengan gaya rambut spike berwarna hitam
pekat membuat gadis itu termenung sesaat. Pikirannya seolah mengajaknya kembali
ke masa silam di sekolahnya dulu.
“Minggir kau!”
Malee mendongakkan
kepala saat mendapati seorang pemuda sudah berdiri angkuh di depannya. Bahkan,
sebelah kakinya pun sudah ia naikkan di atas kursi. Seakan tidak takut pada
pemuda tersebut, Malee bersikap acuh padanya. Ia pun meneruskan makannya di
kantin.
“Hei! Apa kau
tuli, heh?!” serunya kesal. “Kubilang minggir!”
Malee menggantung
sumpit di depan wajahnya. Sesaat gadis itu mendecakkan lidah karena sikap
pemuda yang tidak tahu diri itu.
“Apa kau tidak
memerhatikan sekelilingmu? Di sana masih banyak bangku kosong, kau tahu,” sahut
Malee, lalu bangkit dari duduknya. Pemuda itu tersenyum sinis. Baru kali ini
ada orang yang berani membantah perintahnya, pikirnya. “Apa? Kau kira aku takut
padamu?” lanjutnya dengan nada menantang.
“Apa kau tahu ini
tempat duduk siapa? Siapa pun tidak boleh menempati meja ini selain aku.” Phan
berusaha mengingatkan. Namun, ia sudah mulai menurunkan sebelah kakinya yang
tadi diangkatnya.
“Kau tahu?
Terkadang aku berpikir kalau sikapmu itu hanya ingin menarik perhatian orang
lain saja. Dan sekarang, sepertinya kau berhasil menjadi pusat perhatian
mereka,” terang Malee sambil memutar kepalanya ke sekeliling.
“Sudahlah, Phan,
kau tidak perlu meladeni gadis itu,” bisik Shom, teman dekat Phan, yang berdiri
di belakangnya.
Malee hanya
menggeleng kepala pelan melihatnya. Setelahnya ia mendorong kursinya ke
belakang, lalu melangkah pergi untuk meninggalkan keduanya.
“Tunggu!”
Malee menghentikan
langkahnya ketika Phan memanggilnya. Gadis itu memutar kepala. Phan yang masih
berdiri mematung hanya diam mengamati wajah Malee. Sepertinya ada sesuatu yang
melintas di kepalanya.
***
Malee berdiri di antara
kerumunan orang-orang yang menunggu jadwal keberangkatan perahu motor di
dermaga Sathorn Pier. Gadis itu bertujuan akan pergi ke Wat Pho melalui jalur
sungai Chao Phraya. Setidaknya ia tidak akan memerlukan waktu lama untuk menuju
dermaga tersebut. Karena memang rumahnya terletak tidak jauh dari tempat itu.
Karena terlalu
asik menikmati udara pagi yang sejuk dan pemandangan selama perjalanan tadi,
Malee tidak sadar kalau perahu yang dinaikinya sudah sampai di Tha Tier Pier.
Segera saja gadis itu bergerak maju sebelum orang lain dan juga wisatawan asing
yang seperahu dengannya sibuk dengan antrian panjang yang biasa terjadi.
“Hmm …” Malee menarik
napas dalam ketika ia sudah turun. Tak lama, ia mulai berjalan ke arah kiri
untuk pergi ke Wat Pho.
***
Malee segera
memasuki kuil yang merupakan kuil terbesar di Thailand. Meski ia sering
mengunjungi kuil itu, tapi Malee selalu tampak takjub ketika melihatnya.
Apalagi di dalam kuil itu juga terdapat patung Buddha raksasa dengan posisi berbaring.
Benar-benar unik, pikirnya. Dan lagi, di sekeliling patung tersebut juga
ditempeli banyak sekali bunga-bunga berwarna soft. Ah, itu sangat menyejukkan
mata.
Tubuh malee
sedikit kehilangan keseimbangan saat ia merasakan matanya tampak
berkunang-kunang. Jari-jarinya berusaha menekan keras dinding yang ada di sana
untuk menahan agar tubuhnya tidak jatuh. Namun, ketika ia tidak sanggup
menopang tubuhnya sendiri, seseorang tiba-tiba memegang pundaknya. Seseorang
itu menyadari kalau Malee pasti akan jatuh jika ia tidak menahannya.
Malee menoleh,
menatap seseorang yang sudah membantunya tersebut.
“Wajahmu pucat,
lebih baik kita cari tempat makan dulu,” ujar seseorang itu, yang ternyata
Phan. Pemuda itu tidak sendiri, ia bersama dengan Shom, sahabatnya.
“Bagaimana bisa
kau …”
“Tidak perlu
berpikir yang macam-macam. Bahkan aku sendiri heran kenapa kita harus bertemu
lagi.” Phan masih saja bersikap dingin.
“Sudahlah, kalian
jangan berdebat terus. Ayo, kita cari makan saja!” sahut Shom menengahi
keduanya.
Malee tampak
menikmati Kao Na Ped[3]
yang sudah tersaji di atas meja. Gadis itu tampak lahap menyantapnya.
“Apa kau belum
makan tadi?” tanya Phan heran.
“Ya, mungkin itu yang
membuatku agak pusing tadi,” jawabnya ringan.
“Oh ya, bagaimana
kabar Phawta? Apa kalian masih sering bersama?” Seakan masih penasaran dengan
gosip yang beredar dulu, Shom memancing Malee dengan pertanyaan itu. Gadis itu
mendongak, matanya menerawang ke arah Shom.
“Kami masih sering
berhubungan. Meski tidak sedekat dulu,” ujarnya, kembali menyantap makanannya.
“Tidak sedekat
dulu? Kenapa?” timpal Phan ingin tahu.
Malee mengernyit.
Heran dengan sikap kedua pemuda di depannya. “Kenapa kalian sangat ingin tahu
dengan urusan pribadiku?” telisik Malee memicingkan mata.
“Kami hanya ingin
tahu saja. Kurasa kalian memang pasangan yang cocok,” celetuk Shom tiba-tiba.
Phan dan Malee serempak menatap pada Shom. Kenapa
anak ini tidak bisa menjaga mulutnya? Batin Phan.
“Apa kau berpikir
kalau aku seorang femme[4] dan Phawta seorang butch[5]?”
tuduh Malee seolah menghakimi.
Shom lantas
tertawa, terkesan dipaksakan. Sedangkan Phan, ia hanya menunduk tanpa berani
menatap Malee.
“Astaga! Kalian
benar-benar berpikir begitu?” Malee tertawa getir. Bisa-bisanya mereka berpikir
Malee seorang lesbian. “Asal kalian tahu
saja, aku masih normal. Dan aku …” Malee menatap Phan, ia menggantung
perkataannya.
“Kalau begitu,
Phan, tidak ada yang perlu kau khawatirkan lagi, bukan?” sahut Shom menepuk
keras pundak Phan. Pemuda itu menoleh, memelototi Shom yang selalu asal bicara.
“Memangnya apa
yang kalian khawatirkan?” tanya Malee penasaran.
Shom tersenyum
jahil. Dan Phan, entah kenapa ia jadi tidak bisa berkutik seperti itu.
“Ayolah, Phan,
kenapa kau jadi begini? Ah, aku tahu. Apa perlu aku yang menjelaskan pada
Malee?” Malee dan Phan saling bersitatap. Kemudian keduanya secara bersamaan
melempar pandang pada Shom.
“Hei! Kenapa
kalian menatapku seperti itu?” seloroh Shom.
“Diamlah! Kau
sudah terlalu banyak bicara, Shom,” sulut Phan menatap tajam temannya.
“Ya, ya, baiklah,”
Shom mengangkat kedua tangan di depan dada, tanda menyerah. “Lebih baik
kutinggalkan saja kalian berdua. Aku akan pergi berkeliling sendiri.” Shom
menambahkan. Kemudian ia bangkit dari kursinya, lalu pergi meninggalkan kedai
tempat mereka makan—tentunya kedua temannya juga.