Posted by : Unknown
Minggu, 27 September 2015
Ini adalah penampakan koran yang memuat resensi saya untuk novel "Sejujurnya Aku" karya Aveus Har
Berikut adalah versi asli resensi saya sebelum diedit oleh pihak Redaktur:
KETIKA SEBUAH
KEPERAWANAN DIPERTANYAKAN (?)
Judul Buku : Sejujurnya Aku
Penulis : Aveus Har
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2015
Tebal : 214 halaman
ISBN : 978-602-291-081-7
Sejatinya,
dalam sebuah pernikahan, kejujuran dan saling kepercayaan adalah hal yang
utama. Ketika kita memutuskan untuk mengakhiri masa lajang, dari sana juga kita
harus sudah mempersiapkan diri tentang semua hal yang berkaitan dengan
pernikahan. Kehidupan saat masa lajang, jelas akan berbeda ketika kita sudah
menikah nanti. Oleh karenanya, sebelum kita memutuskan untuk memulai kehidupan
rumah tangga yang penuh liku. Sudah sepantasnya kalau kita mulai saling terbuka
tentang segala hal yang kiranya mengganjal dalam diri masing-masing.
Salah
satu novel yang bercerita tentang lika-liku rumah tangga adalah Sejujurnya Aku.
Dalam novel ini dikisahkan tentang seorang wanita bernama Carista yang menikah
dengan seorang Manager Marketing bernama Nathan. Carista yang memiliki impian
mempunyai pernikahan bak kisah di negeri dongeng, tak lantas begitu saja
mendapatkannya.
“Impian
masa kecilku bukanlah menjadi seorang wanita karier dengan kehidupan glamour ala
sosialita, berbelanja barang mewah, dan pergi mengunjungi kota-kota eksotik di
penjuru dunia. Sejak mengenal dongeng pangeran putri, aku ingin menjadi seorang
istri dan seorang ibu, yang hidup bahagia selama-lamanya dengan anak-anak,
suami, binatang peliharaan, taman bunga, dan keceriaan.” (Hal 106)
Justeru
setelah menikah, ketakutan dan kecemasan yang selama ini mengukung dirinya,
perlahan terus menggerogoti. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Kesalahan besar yang telah ia lakukan di masa lalu, seakan tidak pernah bisa
hilang dari ingatannya. Apalagi, setiap kali ia akan melakukan malam pertama.
Bayangan masa lalu itu selalu muncul di pikirannya.
Ya,
sebuah hubungan yang tak semestinya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah,
telah dilakukan oleh Carista di masa lalu. Masa di mana ia menganggap
pengorbanan dengan menyerahkan keperawanan adalah sebuah bentuk rasa sayang dan
cinta kepada pasangan. Hanya saja, Carista terlanjur menutupi semuanya dari
awal. Ia sama sekali tidak bercerita yang sebenarnya kepada Nathan—suaminya.
“Tidak
akan pernah ada kepastian dalam hidup. Semuanya adalah pertaruhan. Kita harus
mengambil kartu dan membuang kartu. Mengambil risiko dengan melakukan sesuatu.
Bahkan, pejudi andal pun sekali waktu akan terpeleset dengan perkiraannya.
Masalahnya, pejudi andal hanya kehilangan uangnya. Namun, seorang mempelai,
bagaimana menghadapi kehilangan impian pernikahan bahagianya?” (Hal 14)
Awalnya,
Carista berpikir kalau Nathan adalah lelaki yang tidak begitu memedulikan masalah
keperawanan. Tapi, ketakutan yang terus menyesaki pikirannya malah membuat
Carista berpikir kalau Nathan bukanlah lelaki yang seperti di pikirannya.
“Sekarang aku akan menikah
dengan orang yang kupikir tidak memedulikan kesucianku, nyatanya aku salah.”
(Hal 108)
Novel ini
begitu apik dalam menyajikan setiap bagian-bagian ceritanya. Perdebatan masalah
keperawanan yang dibahas di dalamnya pun juga sangat baik. Sama sekali tidak
terkesan menggurui, atau menyudutkan pihak lain. Penulis sangat piawai memaparkan
segala yang berhubungan dengan wanita.