Archive for 2015
Judul : The Dead Returns
Penulis : Akiyoshi Rikako
Penerbit : Haru
Tahun : cetakan kedua, September 2015
Halaman : 252 hal
Isbn : 978-602-7742-57-4

Ah,
sudahlah. Kayaknya saya kebanyakan basa-basi, ntar kalian pada mabok lagi haha.
@@@
Novel ini berkisah tentang seorang
pemuda bernama Koyama Nabuo yang tanpa diduga ternyata ia sudah bertukar tubuh
dengan orang lain, yaitu Takahashi Shinji. Hal itu terjadi setelah Koyama Nobuo
menerima surat yang entah dari mana datangnya. Surat itu berisikan agar ia
datang ke suatu tebing yang sebenarnya merupakan tempat terlarang. Dari situlah
semua masalah muncul. Koyama Nobuo didorong oleh seseorang tak diketahuinya. Di
waktu yang sama, ada seorang pemuda juga yang berada di sana. Pemuda tersebut
kemudian mencoba menolong Koyama yang jatuh dari tebing. Namun, karena suatu
sebab, pemuda yang menolong Koyama ikut terjatuh bersamaan.
Setelahnya, masalah semakin runcing ketika mereka
mendapati wajah masing-masing tidak seperti sebelumnya. Ketika menatap cermin
mereka sadar kalau wajah keduanya telah berubah menjadi orang lain. Akhirnya,
demi mencari kebenaran tentang semuanya, Koyama yang kini telah berubah sosok
menjadi Takahashi Shinji berpura-pura menjadi murid baru di sekolah lamanya. Pemuda itu melakukannya karena
ingin menguak siapa orang yang berniat membunuhnya. Sedangkan Takahashi
sendiri, ia memilih kabur dari rumah sakit tempat ia dirawat karena khawatir
orang yang berusaha membunuhnya akan mencari keberadaannya. Karena
bagaimanapun, Takahashi lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi ketika di tebing
tersebut.
Kira-kira, siapa yang menjadi penyebab jatuhnya Koyama dari tebing? Di
sini, penulis benar-benar membuat saya harus bertanya-tanya siapa sebenarnya
orang tersebut. Karena setiap bab dan juga plot yang disuguhkan penulis,
membuat saya jadi bingung tentang sosok misterius tersebut. Apalagi, setiap
tokoh yang ada di novel ini, semuanya seolah digambarkan berpeluang untuk
menjadi tersangkanya. Mulai dari Sasaki dan Arai, teman sekelas Koyama yang
terkenal menjadi idola di sekolah. Yoshio yang merupakan teman terdekat Koyama,
sampai yang lebih jauh, ibu Koyama sendiri dan Sakamoto-sensei yang menjadi
tersangkanya.
Di situ saya cukup salut dengan
penulis karena berhasil membuat pikiran pembaca sulit menebak siapa yang
menjadi sosok misterius dalam novel ini—menurut saya. Karena ada banyak adegan yang
akan berhasil mematahkan anggapan pembaca mengenai sosok misterius tersebut.
Selain itu karakter yang dibuat penulis juga cukup kuat menurut saya. Semakin
terlihat saat Koyama dan Takahashi masing-masing harus bersikap sesuai
pribadinya masing-masing sebelum mereka mengalami kecelakaan itu.
Tapi, ada hal yang menurut saya
miss dalam novel ini. Bunga bakung yang dilihat Koyama di kelas, bukankah
awalnya ia langsung menduga kalau itu adalah bunga yang ditujukan untuk
mengenang dirinya yang meninggal. Meski tidak ada yang mengatakan kalau itu
bunga untuknya. Tapi karena bunga tersebut diletakkan di mejanya, Koyama jadi
berpikir kalau itu adalah bunga bakung untuk mengenang dirinya. Padahal, bunga
bakung tersebut ditujukan untuk seorang siswi yang sekelas dengannya. Selain itu, ketika Takahashi Shinji alias
Koyama menjadi murid baru di sekolahnya, kenapa ia bisa melihat sosok Maruyama
yang sebenarnya sudah meninggal? Oh, murid lain pun juga bisa melihatnya. Juga,
tentang Koyama yang kabur dari rumah sakit, tidak ada satu pun yang mengatakan
hal itu ketika Takahashi alias Koyama bertanya-tanya soal keberadaan beberapa
orang di tanggal ia jatuh dari tebing.
Oh ya—ini yang terakhir, kok—ada
beberapa kata yang penggunaannya kurang cocok dalam dialog orang Jepang di
sini. Seperti yang kita tahu, novel yang menggunakan setting Jepang sudah pasti
menggunakan kalimat yang lebih baku dibanding novel teenlit Indonesia lainnya.
“Makasih ....” Sasaki-kun (hal 15)
“Jadi, kau sudah nggak suka lagi padaku?”
(hal 170)
Membaca kalimat di atas, rasanya
kayak ada yang ganjal di tenggorokan saya :D *digetok penerjemahnya haha. Ada
juga kata “lho” yang nyempil di sana—saya lupa di halaman berapa. Tapi, over
all saya suka sama novel ini. Eits, bukan karena gratisan, lho. Tapi ini memang
berdasar apa yang saya rasakan. Kalau nggak suka, pasti saya bakalan meletakkan
novel ini begitu saja, meski novel ini genre Jepang—setting kesukaan saya. Dan,
saya pun juga cukup cepat membaca novel ini, hanya dalam dua hari saja. Itu pun
disambi dengan kesibukan lain di dunia nyata.
Okelah, cukup sekian cuap-cuap dari
saya. Biar gimanapun, ini hanya pendapat saya secara pribadi. Namanya juga
novel, sebagus apa pun itu kalau sudah jatuh ke tangan pembaca pasti akan
ketahuan juga belangnya *halah!
Review Novel “The Dead Returns” by Akiyoshi Rikako
Posted by : Unknown
0 Comments
Penulis : Mimosa Hana
Penerbit : De Teens
Tahun Terbit : 2013
Halaman : 196 hal
Isbn : 978-602-279-002-0
Novel ini berkisah tentang seorang cowok bernama Chikusa yang
mengalami mati suri karena operasi tumor otak yang dijalaninya. Cowok
yang kemudian dipertemukan dengan Shiro, sosok bertudung putih yang
berasal dari dimensi lain ini bahkan awalnya menganggap kalau dirinya
telah mati. Namun, sosok Shiro—yang mengaku diutus untuk mengawal
Chikusa selama berada di dimensi lain—meyakinkan Chikusa kalau
sebenarnya cowok itu berada di dimensi lain karena keinginan dan
keyakinannya sendiri.
Setelah pertemuan Chikusa dengan Shiro, sosok bertudung putih
tersebut lalu memutarkan beberapa rekaman kehidupan yang pernah
dialami Chikusa sebelum ia menjalani operasi. Satu per satu rekaman
diputar, sampai akhirnya Chikusa menyadari satu hal tentang cintanya
pada adik tirinya yang bernama Tateha.
Rekaman pertama yang diputar oleh Shiro memperlihatkan kejadian saat
Chikusa menjalani operasi. Setelahnya, tampak kejadian masa kecil
Chikusa saat ia baru pindah di sekolah barunya. Selain itu, tampak
juga kalau awalnya Chikusa begitu membenci adik tirinya itu. Ia sama
sekali tidak menginginkan mempunyai adik dari ibu lain yang kini
menjadi ibunya. Sampai kemudian Chikusa melihat sebuah rekaman yang
membuat ia sedikit bingung akan hubungannya dengan Tateha. Ditambah
lagi munculnya sebuah gambar yang menunjukkan kalau Tateha ternyata
sedang menjalin kedekatan dengan Hikaru-senpai—salah satu seniornya
di Universitas.
@@@
Done! Selesai juga baca novel ini. Kalian tahu, sebenarnya saya
nggak ada niatan untuk membeli novel ini. Tapi, saat jalan-jalan ke
mall, tanpa sengaja saya melihat ada bazar buku di Gramedia.
Iseng-iseng aja deh saya buat lihat-lihat buku murah. Sampai kemudian
tanpa sengaja juga saya melihat novel ini. Yah, selain karena ini
novel genre Jepang, harganya pun juga pas di kantong hehe. Jadilah
saya beli novel karangan Mimosa Hana ini dan satu novel teenlit
lainnya.Oh ya, ini juga merupakan Naskah Terbaik #LombaNovelJepang 2013 yang beberapa novel lainnya juga sudah saya ulas sebelumnya.
Pas awal baca ceritanya, jujur saja saya udah langsung suka dan
penasaran sama kelanjutan dan jalan ceritanya. Gaya bahasanya yang
lancar, dan plot cerita yang rapi bakalan bikin kalian nggak rela
untuk meletakkan novel ini sebelum akhir. Selain itu, meski di sini
penulis menggunakan alur flash back di setiap bab-nya, itu sama
sekali nggak akan membuat pembaca jadi bingung. Karena menurut saya
penulis cukup berhasil menyelipkan setiap clue di tiap akhir bab-nya.
Di samping itu, membaca novel ini benar-benar terasa sekali
Jepangnya. Di sini, kita bisa belajar lebih banyak lagi tentang
istilah-istilah dan kebudayaan Jepang yang sebelumnya mungkin belum
kita ketahui. Yaah, seperti saya ini. Membaca novel ini saya jadi
lebih tahu tentang perbedaan partikel “san” dan “han” dalam
penggunaannya. Selain itu, beberapa nama jalan dan juga beberapa
pertokoan yang ada pun juga disebutkan dengan detail sekali. Intinya,
novel ini cukuplah dijadikan acuan buat kalian yang masih awam
tentang Jepang—tentunya juga diselingi dengan browsing agar
informasi yang didapatkan juga lebih akurat.
Oh ya, tapi ada bagian cerita yang sepertinya membuat saya masih
bingung. Tentang Tateha yang kemudian menjalin hubungan dengan
Hikaru-senpai. Sumpah! Yang ini saya masih gagal paham *dasar otak
lemot :3 di dalam video yang diputar Shiro, Chikusa seakan baru
menyadari kalau ternyata dia dan Tateha telah berpacaran—saya pun
di sini juga jadi terkejut. Namun, ketika dia sadar, ternyata Tateha
telah menjalin hubungan dengan Hikaru. Huuaaaa ... barangkali ini
efek gagal fokus yang sering menyerang diri saya hahah. Pokoknya ada
beberapa adegan yang nggak disebutkan di sini sebab akibatnya, yang
kemudian membuat saya harus rela membolak-balik kembali halaman untuk
mencari tahu jawabannya hikzz.
But, over all, cerita ini sudah sangat bagus menurut saya sebagai
pembaca. Saya suka. Mengingat ini adalah debut pertama penulis di
dunia literasi. Cukup mengagumkan dan keren karena berhasil
memenangkan lomba ini.
Review Novel “Undre the Same Sky that Day” by Mimosa Hana
Posted by : Unknown
0 Comments
Judul : Haru no
Hana
Penulis : Cuncun
Penerbit : Ping!!!
Cetakan : November,
2013
Hal : 156 hal
Isbn :
978-602-255-171-3
Baiklah, ini adalah
novel ke dua naskah terbaik #LombaNovelJepang 2013 yang saya baca.
Setelah sebelumnya saya membaca naskah terbaik lainnya; “Yosh!”
karangan Far Choinice. Tentunya, setelah membandingkan novel ini
dengan Naskah Terbaik Jepang lainnya, pasti akan ada banyak sekali
kekurangan dan kelebihan dalam masing-masing novelnya.
Novel ini berkisah
tentang seorang Hana, gadis tuna wicara yang sangat berbakat dalam
bermain musik—khusunya biola. Namun, dalam hal ini, bukan permainan
musiknya yang ditonjolkan oleh penulis. Melainkan hubungan peliknya
dengan seorang pemuda bernama Haruka Ichijou yang sangat membencinya
karena sebuah keirian. Hal itu bukan tanpa sebab. Haruka sangat
membenci Hana sejak gadis itu pertama kali masuk ke Universitas
tempat dia belajar. Ayah Haruka begitu mengagumi bakat luar biasa
Hana dalam bermusik. Karena itu pula ayahnya begitu dekat dan sangat
menyayangi Hana seperti putrinya sendiri. Dan, karena semua itu
Haruka merasa kalau ayahnya selalu membanding-bandingkan dirinya
dengan Hana. Sampai-sampai sang ayah lebih memilih Hana untuk tampil
dalam acara festival tahunan daripada dirinya. Ayahnya menganggap
kalau Haruka tidak akan bisa tampil di hadapan orang banyak. Dia juga
sama sekali tidak mendukung permainan musik Haruka.
Masalah semakin
berlanjut ketika Hana meminta Ichijou-sensei—ayah Haruka—untuk
memperbolehkan dirinya berduet dengan Haruka, namun ditolaknya. Tapi,
Hana tidak menyerah sampai di situ. Gadis itu tetap mengusahakan
berbagai cara agar mereka berdua bisa tampil duet untuk festival.
Selain itu, rencana kepergian Hana ke Amerika Serikat untuk
bersekolah musik di Juliard yang tak terduga juga membuat hubungan
mereka jadi tak tentu arah.
Sebelum
kepergiannya ke Amerika, Hana berusaha menyatakan perasaannya pada
Haruka. Dia juga bercerita tentang pengalaman masa lalu mereka yang
mungkin sudah dilupakan oleh Haruka. Dari situlah kemudian hati
Haruka sedikit tergerak. Dia tidak menyangka kalau gadis yang pernah
ditolongnya saat di Shinkansen adalah Hana.
Ups!! Kayaknya nggak
baik, ya, kalau diceritakan terlalu detail. Meskipun saya telat pakai
banget baca neh novel, tapi setidaknya saya masih ada waktu untuk
membacanya. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, kan?
Heheh
@@@
Menjadi
bayang-bayang dari orang lain, hidup dibanding-bandingkan, dan
keberadaan nyata keindividuanku tak pernah dianggap ada. Membuat hati
dan pikiranku sakit ~Ichijou Haruka~
Setelah membaca
blurb di atas, apa yang ada di benak kalian? Kira-kira ending seperti
apa yang akan diberikan dalam novel ini? Well, dari awal baca, saya
sudah bisa menebak akan ke arah mana hubungan mereka.
Sebenci-bencinya tokoh dalam sebuah novel, pasti ujung-ujungnya akan
kembali juga sama yang dibencinya :p di sini, penulis mengeksplor
dengan baik perasaan masing-maisng tokohnya. Quote-quote diary's yang
ditulis pun juga sangat apik dan ngena banget. Intinya saya suka.
Kalau saya, neh, mungkin agak sedikit kesulitan jika harus memilih
tokoh saya sebagai tuna wicara. Secara saya sama sekali tidak tahu
soal kehidupan mereka itu bagaimana. Sekali pun kita bisa riset dan
meminta bantuan mbah google. Tapi, saya masih bertanya-tanya, kenapa
penulis memilih tokohnya sebagai seorang tuna wicara? Apakah jika
Hana gadis yang normal, cerita akan berbeda seperti yang sudah ada?
Hmm, entahlah ....
Hal
yang membuatku bersemangat menjalani hidup ini adalah musik dan kau.
Berkat kau, aku bisa menjadi sesemangat ini. Berkat kau, aku bisa
sedewasa ini menerima segala kekurangan dalam diri ~Akanishi Hana~
Mengingat ini adalah
sebuah novel bersetting Jepang, saya pikir cerita ini akan seperti
dua novel sebelumnya yang saya baca—Under the Same Sky that Day dan
Yosh!. Karena jujur saja, dalam cerita ini saya merasa nyawa
kejepangannya itu kurang—sorry to say. Saya tahu, kalau novel yang
menggunakan setting negara lain tidak harus memiliki catatan kaki
yang banyak sampai bikin editor jadi muntah. Tapi, setidaknya meski
tanpa hal itu, penulis juga bisa mengeksplorasi budaya dan tradisi
lewat narasi dengan detail. Tapi, bukan berarti ceritanya jadi kayak
baca berita di mbah google, lho. Menurut saya, jika cerita dalam
novel ini dipindah setting menjadi Indonesia pun rasanya juga tidak
akan jauh berbeda. Karena sekali lagi—masih menurut saya—novel
ini masih sangat menonjolkan konflik cerita para tokohnya saja, tanpa
harus ribet untuk mengeksplor budaya Jepang lebih dalam lagi.
Di samping itu masih
ada typo di beberapa Eyd dan kosakata. Tapi pastinya hal itu memang
tidak akan pernah lepas dari penulisan apapun. Oh ya, sebenarnya
masih ada beberapa hal lagi yang ingin saya kupas. Mengingat di sini
kapasitas saya bukan sebagai kritikus, jadi cukup sekian saja
corat-coret nggak penting dari saya. Biar bagaimanapun, ini adalah
penilaian objektif dari saya sebagai pembaca. Sama sekali tidak ada
niat untuk menjatuhkan penulis atau siapa pun. Saya juga masih
belajar, khususnya budaya Jepang itu sendiri. Well, salam kenal dan
semangat juga buat penulisnya. Jangan sakit hati jika kebetulan
membaca review ini, ya :D
Review Novel “Haru No Hana” by Cuncun
Posted by : Unknown
2 Comments
Penerbit : Ping!!!
Tahun : 2013
Tebal : 172 hal
Isbn : 978-602-255-170-6
Hai, hai ... belakangan ini saya lagi pengin baca novel dengan latar
belakang Jepang. Yah, setidaknya bisa buat saya belajar juga
bagaimana membuat novel Jepang yang baik ^_^ secara saya lagi pengin
memantapkan hati untuk fokus pada penulisan novel dengan genre
Jepang. Niatnya biar saya juga punya ciri khas tersendiri sebagai
penulis Jepang :D
Oh ya, kebetulan dapat novel ini dari bazar buku dalam acara book
fair yang sering diadakan di kota saya—Malang. Emang udah niat sih
dari awal kalau pengin beli novel Jepang. Dan, kebetulan juga kedua
mata saya ini langsung menangkap sosok novel terbitan lini Diva
Press. Akhirnya dapat lah saya dua novel lama hasil dari Naskah
Terbaik #LombaNovelJepang 2013.
Novel ini berkisah tentang dua remaja sekolah dari dua keluarga
berbeda yang dibesarkan di rumah yang sama. Honoka Fujiwara, gadis
yang diasuh oleh keluarga Fujiwara setelah sang nenek meninggal. Ia
diasuh oleh sahabat kedua orangtuanya yang juga sudah meninggal. Di
sana, Honoka mempunyai saudara tiri laki-laki bernama Fujiwara
Junichi. Pemuda itulah yang telah berjanji akan menjaga dan
menyayangi Honoka semenjak gadis itu menginjakkan kaki di rumahnya.
Namun, yang Junichi rasakan bukanlah rasa sayang pada seorang adik,
melainkan sebagai seorang laki-laki pada gadis yang dicintainya.
Konflik semakin berjalan ketika mereka berdua harus pindah rumah
sekaligus sekolah di kota lain. Di sekolah barunya itulah kehidupan
mereka mulai berubah. Honoka yang semenjak tinggal bersama keluarga
Fujiwara menjadi sosok lebih pendiam dan menyendiri, akhirnya
lama-lama bisa membiasakan diri dengan situasi yang ada. Apalagi
semenjak kehadiran dua orang laki-laki yang sempat mengacaukan
pikirannya tentang perasaannya sendiri—Nakamura Jin dan Sugiura
Shato.
@@@
Menurut saya novel ini sangat ringan untuk bacaan remaja yang biasa
menonton dorama Jepang. Di sini penulis juga selalu menyuguhkan
kejutan kecil di setiap akhir pergantian plotnya. Selain itu
pengemasan konflik di antara Honoka dan Junichi juga cukup ringan,
jadi tidak akan membuat pembaca mengerutkan dahi. Namanya juga novel
Jepang, sudah pasti kita akan menemukan kata asing di dalamnya.
Layaknya ucapan selamat pagi, pengenalan diri dll semuanya penulis
tuangkan di sini.
Tapi, ada beberapa hal juga yang membuat novel ini kurang—menurut
saya. Perasaan Honoka terhadap Nakamura Jin kesannya kayak php
banget, ya hehe. Dari awal Honoka masuk sekolah, seakan-akan gadis
itu udah tertarik banget sama Jin. Yah ... meski awalnya Honoka
tampak tidak suka dengan sikap Jin yang kasar, tapi tetap saja, di
mana-mana kayaknya benci selalu jadi cinta, kan? Dan, saya pikir di
sini Honoka akan jadian dengan Jin, lho. Ternyata, oh ternyata, saya
salah kaprah. Selain itu, kematian Sugiura Shato sepertinya terlalu
mendadak banget hikz... hikz... meskipun yang terjadi padanya adalah
kecelakaan. Lalu, apakah sebenarnya Honoka itu memiliki perasaan pada
Sugiura Shato? Karena kalau dipikir-pikir, Honoka lumayan perhatian
sama Shato. Ditambah lagi Shato mengalami kecelakaan setelah
mengungkapkan perasaannya pada Honoka.
“Hajimete
atta toki kara kimi ga suki da, Honoka”--Sugiura Shato
[Aku menyukaimu sejak pertama kali
bertemu] hal 100
Nah, kalimat itu cukup membuat saya penasaran juga. Kira-kira apa
yang menyebabkan Shato menyukai Honoka? Apakah sebelum pindah
sekolah, Shato sudah pernah mengenal Honoka? Ah, yang ini rasanya
tidak, ya. Tapi, sikap Shato di awal ketika pertama bertemu Honoka
sama sekali tidak mengindikasikan kalau pemuda itu menyukainya. Atau
mungkin Shato hanya ingin menutupi perasaannya saja, mengingat Shato
juga termasuk lelaki pendiam dan penyendiri—meski tampan.
Ya sudah, cukup sekian saja cuap-cuap nggak penting dari saya.
Sekali lagi, bagaimanapun ini adalah penilaian objektif dari saya
sebagai pembaca. Buat penulis, terus semangat, ya! Meski ada beberapa
cerita di atas yang buat saya bertanya-tanya, tapi saya tetap
menikmati membaca novel ini sampai akhir, kok ^_^ ganbatte!
Review Novel “Yosh!” by Far Choinice
Posted by : Unknown
0 Comments
Well, sebenarnya nggak pengin juga sih corat-coret tentang kehidupan pribadi di blog. Tapi, apa yang ingin saya sampaikan di sini hanya sekadar mau berbagi saja dengan kalian. Sudah pernah merasakan menjadi job seekers? Bagaimana menurut kalian pengalaman tersebut? Pasti akan ada suka dan duka di balik hal itu. Seperti halnya saya saat ini, yang resmi menyandang gelar 'job seekers' semenjak tiga bulan terakhir. Hmm ... rasanya itu nano-nano banget. Sedih, senang, suntuk, sumpek, bahkan sampai bosan setengah mati pun juga saya rasain. Senangnya karena saya bisa beristirahat di rumah dengan tenang, dan ditambah bisa mbolang ke mana pun tanpa peduli waktu :D
Tapi, selain itu rasa penat dan suntuk pastinya langsung menyerang ketika gelar sebagai 'job seekers' seakan nggak bisa lepas dari hidup saya. Yah, realistis saja lah. Waktu dan kehidupan terus berjalan maju. Sedangkan pemasukan untuk diri sendiri terus bertambah. Apalagi jika uang tabungan tak seberapa. Otomatis, mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti harus berjuang dan berusaha untuk segera mendapatkan pekerjaan baru. Jika tidak, siap-siaplah untuk gigit jari ketika sedang menginginkan sesuatu yang tidak bisa kita beli hihi
Seperti saya saat ini, yang sedang kelimpungan mencari pekerjaan. Setiap saat dan bahkan hampir setiap hari harus keluar rumah, berkelana ke sana ke mari untuk berjuang mencari sesuap nasi. Namun, apakah kalian juga merasakan seperti yang saya alami? Ya, tentunya saya juga yakin kalau para job seekers di luar sana juga pasti merasakan hal yang sama.
Ditolak sebuah perusahaan berkali-kali sudah sangat sering saya rasakan. Selama menjadi 'job seekers'-- tiga bulan lebih--saya sudah melamar di hampir 50 lebih sebuah perusahaan. Hasilnya ... ada yang langsung dipanggil, ada yang hanya php saja, bahkan ada yang tidak berkabar sama sekali. Di situ kadang saya merasa sedih huhuuu ... oh ya, ada juga yang sudah menerima saya sebagai pegawai. Tapi, lagi-lagi saya seakan tidak bisa bertahan lama di tempat baru. Hanya beberapa minggu, dan bahkan hanya bertahan sehari saja. Rasanya miris sekali ketika hal itu terjadi. Namun, hal itu bukanlah tanpa alasan.
Di sini, ketika saya memulai pekerjaan di tempat yang baru, kenyamanan adalah hal utama yang saya cari. Ketika saya tidak merasa nyaman dan merasa terintimidasi dalam suatu tempat, maka tanpa basa-basi saya akan langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Tidak peduli apakah perusahaan tersebut memberi gaji yang besar sekali pun.
Oh ya, di detik saya menulis saat ini, sebenarnya hari ini saya juga baru selesai melakukan sesi walk in interview di salah satu PT ternama yang bergerak di bidang telekomunikasi. Mengingat banyaknya para job seekers seperti saya yang datang ke sesi tersebut,membuat waktu saya tersita banyak sekali. Kalian tahu, dari pukul 9 pagi saya baru pulang ke rumah pada pukul 15.30. Waktu yang sangat panjang, bukan? Untungnya saat itu saya tidak sendiri datang ke sana. Ada satu teman saya seorang job seekers juga saat itu. Setelah seharian saya menghabiskan waktu untuk mengikuti sesi walk in interview, saya optimis akan diterima bekerja di sana. Mengingat pimpinan yang sepertinya tertarik dengan CV saya--dalam hal ini mungkin saya memang terlihat terlalu pede, ya hehe--karena pengalaman saya bekerja sebelumnya yang tidak jauh-jauh dari bidang tempat saya melamar.
Namun, ketika jam menginjak pukul 5 sore, teman seperjuangan saya yang tadi saya sebutkan di atas mengirim bbm pada saya. Dia bertanya apakah saya dapat sms dari PT tempat kami melamar tadi. Dari situ saya sudah bisa menebak kalau teman saya pasti diterima. Dan, benar saja, dia mengatakan kalau hari esok dia harus datang untuk proses training. Saya makin galauuuuu rasanya -_- apakah ini karena kepedean saya yang terlalu over? Bukankah setiap hal yang kita lakukan harus disertai dengan rasa optimistis? Ah, ya sudahlah. Rasanya saya jadi makin suntuk ketika harus memikirkan hal itu.
Sampai ketemu di catatan part II, ya. Semoga ketika saya menulis saat itu, saya sudah diterima bekerja di tempat yang saya inginkan. Amiiinnn, ganbatte!!!
Tapi, selain itu rasa penat dan suntuk pastinya langsung menyerang ketika gelar sebagai 'job seekers' seakan nggak bisa lepas dari hidup saya. Yah, realistis saja lah. Waktu dan kehidupan terus berjalan maju. Sedangkan pemasukan untuk diri sendiri terus bertambah. Apalagi jika uang tabungan tak seberapa. Otomatis, mau tidak mau, suka tidak suka, kita pasti harus berjuang dan berusaha untuk segera mendapatkan pekerjaan baru. Jika tidak, siap-siaplah untuk gigit jari ketika sedang menginginkan sesuatu yang tidak bisa kita beli hihi
Seperti saya saat ini, yang sedang kelimpungan mencari pekerjaan. Setiap saat dan bahkan hampir setiap hari harus keluar rumah, berkelana ke sana ke mari untuk berjuang mencari sesuap nasi. Namun, apakah kalian juga merasakan seperti yang saya alami? Ya, tentunya saya juga yakin kalau para job seekers di luar sana juga pasti merasakan hal yang sama.
Ditolak sebuah perusahaan berkali-kali sudah sangat sering saya rasakan. Selama menjadi 'job seekers'-- tiga bulan lebih--saya sudah melamar di hampir 50 lebih sebuah perusahaan. Hasilnya ... ada yang langsung dipanggil, ada yang hanya php saja, bahkan ada yang tidak berkabar sama sekali. Di situ kadang saya merasa sedih huhuuu ... oh ya, ada juga yang sudah menerima saya sebagai pegawai. Tapi, lagi-lagi saya seakan tidak bisa bertahan lama di tempat baru. Hanya beberapa minggu, dan bahkan hanya bertahan sehari saja. Rasanya miris sekali ketika hal itu terjadi. Namun, hal itu bukanlah tanpa alasan.
Di sini, ketika saya memulai pekerjaan di tempat yang baru, kenyamanan adalah hal utama yang saya cari. Ketika saya tidak merasa nyaman dan merasa terintimidasi dalam suatu tempat, maka tanpa basa-basi saya akan langsung pergi meninggalkan tempat tersebut. Tidak peduli apakah perusahaan tersebut memberi gaji yang besar sekali pun.
Oh ya, di detik saya menulis saat ini, sebenarnya hari ini saya juga baru selesai melakukan sesi walk in interview di salah satu PT ternama yang bergerak di bidang telekomunikasi. Mengingat banyaknya para job seekers seperti saya yang datang ke sesi tersebut,membuat waktu saya tersita banyak sekali. Kalian tahu, dari pukul 9 pagi saya baru pulang ke rumah pada pukul 15.30. Waktu yang sangat panjang, bukan? Untungnya saat itu saya tidak sendiri datang ke sana. Ada satu teman saya seorang job seekers juga saat itu. Setelah seharian saya menghabiskan waktu untuk mengikuti sesi walk in interview, saya optimis akan diterima bekerja di sana. Mengingat pimpinan yang sepertinya tertarik dengan CV saya--dalam hal ini mungkin saya memang terlihat terlalu pede, ya hehe--karena pengalaman saya bekerja sebelumnya yang tidak jauh-jauh dari bidang tempat saya melamar.
Namun, ketika jam menginjak pukul 5 sore, teman seperjuangan saya yang tadi saya sebutkan di atas mengirim bbm pada saya. Dia bertanya apakah saya dapat sms dari PT tempat kami melamar tadi. Dari situ saya sudah bisa menebak kalau teman saya pasti diterima. Dan, benar saja, dia mengatakan kalau hari esok dia harus datang untuk proses training. Saya makin galauuuuu rasanya -_- apakah ini karena kepedean saya yang terlalu over? Bukankah setiap hal yang kita lakukan harus disertai dengan rasa optimistis? Ah, ya sudahlah. Rasanya saya jadi makin suntuk ketika harus memikirkan hal itu.
Sampai ketemu di catatan part II, ya. Semoga ketika saya menulis saat itu, saya sudah diterima bekerja di tempat yang saya inginkan. Amiiinnn, ganbatte!!!
Suka Duka Menjadi Job Seekers (Part I)
Posted by : Unknown
0 Comments
Ini adalah penampakan koran yang memuat resensi saya untuk novel "Sejujurnya Aku" karya Aveus Har
Judul Buku : Sejujurnya Aku
Penulis : Aveus Har
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2015
Tebal : 214 halaman
ISBN : 978-602-291-081-7
Berikut adalah versi asli resensi saya sebelum diedit oleh pihak Redaktur:
KETIKA SEBUAH
KEPERAWANAN DIPERTANYAKAN (?)
Judul Buku : Sejujurnya Aku
Penulis : Aveus Har
Penerbit : Bentang Pustaka
Tahun Terbit : 2015
Tebal : 214 halaman
ISBN : 978-602-291-081-7
Sejatinya,
dalam sebuah pernikahan, kejujuran dan saling kepercayaan adalah hal yang
utama. Ketika kita memutuskan untuk mengakhiri masa lajang, dari sana juga kita
harus sudah mempersiapkan diri tentang semua hal yang berkaitan dengan
pernikahan. Kehidupan saat masa lajang, jelas akan berbeda ketika kita sudah
menikah nanti. Oleh karenanya, sebelum kita memutuskan untuk memulai kehidupan
rumah tangga yang penuh liku. Sudah sepantasnya kalau kita mulai saling terbuka
tentang segala hal yang kiranya mengganjal dalam diri masing-masing.
Salah
satu novel yang bercerita tentang lika-liku rumah tangga adalah Sejujurnya Aku.
Dalam novel ini dikisahkan tentang seorang wanita bernama Carista yang menikah
dengan seorang Manager Marketing bernama Nathan. Carista yang memiliki impian
mempunyai pernikahan bak kisah di negeri dongeng, tak lantas begitu saja
mendapatkannya.
“Impian
masa kecilku bukanlah menjadi seorang wanita karier dengan kehidupan glamour ala
sosialita, berbelanja barang mewah, dan pergi mengunjungi kota-kota eksotik di
penjuru dunia. Sejak mengenal dongeng pangeran putri, aku ingin menjadi seorang
istri dan seorang ibu, yang hidup bahagia selama-lamanya dengan anak-anak,
suami, binatang peliharaan, taman bunga, dan keceriaan.” (Hal 106)
Justeru
setelah menikah, ketakutan dan kecemasan yang selama ini mengukung dirinya,
perlahan terus menggerogoti. Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Kesalahan besar yang telah ia lakukan di masa lalu, seakan tidak pernah bisa
hilang dari ingatannya. Apalagi, setiap kali ia akan melakukan malam pertama.
Bayangan masa lalu itu selalu muncul di pikirannya.
Ya,
sebuah hubungan yang tak semestinya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah,
telah dilakukan oleh Carista di masa lalu. Masa di mana ia menganggap
pengorbanan dengan menyerahkan keperawanan adalah sebuah bentuk rasa sayang dan
cinta kepada pasangan. Hanya saja, Carista terlanjur menutupi semuanya dari
awal. Ia sama sekali tidak bercerita yang sebenarnya kepada Nathan—suaminya.
“Tidak
akan pernah ada kepastian dalam hidup. Semuanya adalah pertaruhan. Kita harus
mengambil kartu dan membuang kartu. Mengambil risiko dengan melakukan sesuatu.
Bahkan, pejudi andal pun sekali waktu akan terpeleset dengan perkiraannya.
Masalahnya, pejudi andal hanya kehilangan uangnya. Namun, seorang mempelai,
bagaimana menghadapi kehilangan impian pernikahan bahagianya?” (Hal 14)
Awalnya,
Carista berpikir kalau Nathan adalah lelaki yang tidak begitu memedulikan masalah
keperawanan. Tapi, ketakutan yang terus menyesaki pikirannya malah membuat
Carista berpikir kalau Nathan bukanlah lelaki yang seperti di pikirannya.
“Sekarang aku akan menikah
dengan orang yang kupikir tidak memedulikan kesucianku, nyatanya aku salah.”
(Hal 108)
Novel ini
begitu apik dalam menyajikan setiap bagian-bagian ceritanya. Perdebatan masalah
keperawanan yang dibahas di dalamnya pun juga sangat baik. Sama sekali tidak
terkesan menggurui, atau menyudutkan pihak lain. Penulis sangat piawai memaparkan
segala yang berhubungan dengan wanita.
Dimuat di Koran Sastra Sumbar Edisi 19 September 2015
Judul
: Summit
Penulis :
Peringga Ancala
Penerbit : Ice Cube
Publisher
Tahun terbit : Mei 2015
Halaman :193 halaman
ISBN : 978-979-91-0871-5
Blurb:
“Gue mau mendaki Rinjani. Seperti yang lo tahu, gue udah tertipu
habis-habisan. Jadi, gue butuh pemandu dan—“
“Mendaki? Kau tidak salah? Mendaki sampa puncak Mahabiru?”
“Degar, ya, gue ini punya misi penting. Lo nggak perlu tahu alasannya, yang
pasti gue harus mendaki Rinjani. Terserah lo mau bilang apa!”
Dan misimu itu lebih penting dari nyawamu?”
***
“Jangan bunuh apapun kecuali waktu, jangan ambil apapun
kecuali foto, dan jangan tinggalkan apapun kecuali jejak. Salam lestari!”
Kalian tahu,
itu adalah quote pertama yang diselipkan penulis sebelum masuk halaman pertama
cerita “Summit”. Dan ... quote-nya benar-benar pecinta alam sejati!--menurut saya *sok tahu
banget, ya hahah
Idan, mahasiswa dari kota yang tiba-tiba saja memutuskan untuk mendaki
Rinjani demi sebuah ego dan harga diri. Hal itu disebabkan karena Yona—mantan
pacarnya—lebih memilih meninggalkannya dan berpacaran dengan salah satu anggota
mapala. Idan juga ingin membuktikan kalau dia bisa mendaki lebih dari pacar
barunya itu—namanya Tian. Namun, tak disangka ternyata cowok itu terkena tipu
akibat trekking organizer bodong yang dipesannya. Beberapa saat dia
terkatung-katung di bandara. Sampai tanpa sengaja Idan bertemu dengan seorang
cewek di bandara yang membuatnya sedikit adu mulut, karena ia beranggapan kalau
cewek itu sudah mencampuri urusannya.
Cerita mulai seru ketika Idan yang telah sampai di sebuah penginapan, harus
bertemu kembali dengan cewek yang sempat bertengkar dengannya di bandara.
Namanya Lika. Dia seorang mahasiswa mapala yang kebetulan ayahnya pemilik dari
penginapan dan trekking organizer di Senaru. Dan, sudah bisa dipastikan,
petengkaran kecil kembali hadir di antara mereka.
Singkat cerita, akhirnya Lika menjadi pemandu bagi pendakian Idan ke
Rinjani. Bisa dibayangkan kan pendakian akan seperti apa jika dua orang yang
awalnya terlibat pertengkaran harus bersama? Yuk, ah! Langsung jemput aja novel
ini di tobuk.
***
Seperti biasa, saya mendapatkan novel ini berkat mengikuti kelas di salah
satu kelas online. Ini merupakan salah satu seri YARN yang belum saya baca. Sedikit banyak tahu tentang isinya dari hasil tanya
jawab dengan penulis di kelas saat itu. Saya pikir ini akan menjadi novel yang
membosankan karena isinya tentang pendakian dan segala tetek-bengek yang
berhubungan dengan lokalitas Lombok. Jujur saja, otak saya agak mampet kalau
harus disuruh membaca tulisan-tulisan yang berhubungan dengan adat dsb—yang ini
jangan ditiru, ya!—ternyata, oh, ternyata ... saya salah! Novel ini benar-benar
amazing! Sungguh, saya tidak sedang mengada-ada. Novel ini memang bukanlah
novel roman dengan segala kerumitan percintaan seperti pada umumnya. Di sini,
penulis lebih banyak menuangkan tulisannya berupa kegiatan mendaki gunung dan
segala tentang isinya. Mulai dari keeksotisan gunung Rinjani, danau Segara Anak, air terjun
Sendang Gila dan Tiu Klep, dan masih banyak lagi.
Meski begitu, membaca novel ini sama sekali tidak seperti membaca Mbah
Google hehe. Semua penjelasan tentang setiap tempat dan sejarahnya,
masing-masing dituliskan dengan gaya bercerita yang tidak kaku dan terkesan translate. Seluruhnya murni dan mengalir
seperti apa adanya. Sama sekali tidak memaksakan. Oya, ada satu kalimat yang
saya suka di sini:
“Aku belum siap untuk mencemburui gunung, hutan, tebing, jurang,
burung-burung, edelweiss, dedaunan, dan masih banyak lagi, bila aku jatuh cinta
pada seorang pecinta alam.” (Summit hal 147/148)
Membaca kalimat itu, rasanya ada sesuatu yang berderak-derak di hati
#eeaakkk #lol. Tapi, buat pembaca sama sekali jangan khawatir. Novel ini tidak
akan membuat kalian menguap-nguap, kok. Gaya bertuturnya benar-benar ngalir,
enak dibaca, dan ... di akhir-akhir menuju ending, ada beberapa kejadian yang
bikin kalian bakalan senyum-senyum kayak saya :D bisa dibilang ini adalah
sedikit bonus buat pembaca yang menginginkan sedikit sisi roman dalam novel ini
hihi ... penasaran? Buruan, deh, jangan ragu-ragu buat jemput neh novel.
Terakhir, buat Kak Peringga, terima kasih udah kasih novel ini buat saya.
Jadi makin penasaran dengan tulisan-tulisan Kakak yang lain. Btw, Tian pacar
barunya Yona itu si Agustian, bukan, sih?—skip.